Bahaya Memikirkan Kemiskinan sebagai Takdir
![]() |
Bahaya Memikirkan Kemiskinan sebagai Takdir |
KEMISKINAN merupakan bahaya besar yang mengancam perdamaian, kesejahteraan dan stabilitas masyarakat. Abu Hurairah pernah meriwayatkan bahwa Abu Zar berkata,
"Saya terkejut melihat beberapa orang yang tidak memiliki makanan di rumah mereka. Bagaimana mereka bisa sabar dan tidak keluar rumah dengan menghunus pedang dan membuat kerusuhan?”
Seseorang mungkin dapat bersabar dalam menghadapi kemiskinan jika ia sadar akan sumber sumber pendapatan dan banyaknya jumlah manusia yang membutuhkan. Tetapi jika kemiskinan muncul sebagai akibat dari kesalahan yang disengaja sebagai akibat dari penindasan sekelompok kecil orang yang menikmati kemewahan dengan mengorbankan kepentingan mayoritas, maka kemiskinan seperti inilah yang membangkitkan emosi dan kemarahan setiap orang. Hal itu akan menimbulkan fitnah dan goncangan yang dapat merusak nilai cinta dan persaudaraan dalam masyarakat.
Selama ada perbedaan sosial yang signifikan dalam masyarakat sehingga beberapa orang tinggal di gubuk dan yang lain tinggal di istana, beberapa orang tidur di tanah, sementara yang lain mendirikan gedung-gedung tinggi, selama api kebencian dan kemarahan akan menyala di masyarakat.
Kemiskinan juga berbahaya bagi kedaulatan, kebebasan dan kemerdekaan bangsa. Semangat membela harkat dan martabat bangsa sulit ditemukan dalam dada orang miskin yang membutuhkan pertolongan.
Dia menyadari bahwa negara dan bangsanya sendiri tidak peduli dengan nasibnya. Negaranya tidak memberinya makan dalam kelaparan, tidak melindunginya dalam keadaan darurat dan tidak pernah memberikan bantuan untuk menariknya keluar dari kesulitan hidup.
Ketika suatu negara keras terhadap orang miskin dan tidak pernah peduli dengan kondisi mereka, bukan tidak mungkin mereka menolak untuk mengorbankan darahnya untuk negara.
Islam tidak hanya menentang mereka yang menganggap bahwa kemiskinan dan siksaan fisik adalah sesuatu yang suci dan dapat membawa kepada ketinggian spiritual. Islam juga menentang kelompok kedua yang memandang kemiskinan dengan ketundukan dan menganggapnya sebagai takdir yang telah ditentukan oleh Allah.
Pandangan seperti itu menjadi penghambat upaya perbaikan keadaan, penegakan keadilan dan penciptaan jaminan kesejahteraan yang diinginkan.
Risalah Islam harus dilengkapi dengan membebaskan umat dari belenggu kemiskinan, membantu memperkuat hak-hak mereka dan memperkuat sistem jaminan sosial. Hanya dengan cara itu mereka dapat hidup dalam kemuliaan.
Di antara prinsip-prinsip besar yang ditanamkan Islam di hati umat Islam adalah bahwa ada jalan keluar dari setiap kesulitan. Oleh karena itu, seorang muslim harus meyakini bahwa setiap penyakit ada obatnya, karena Allah tidak menciptakan penyakit kecuali Allah menciptakan obat yang dapat menyembuhkannya.
Sakit adalah takdir Tuhan dan kesembuhan juga takdir Tuhan. Seorang mukmin sejati harus menolak takdir buruk dengan berusaha mendapatkan takdir yang baik. Ia harus melawan takdir kelaparan dengan takdir menemukan makanan atau minuman.
Pada suatu ketika, Umar al-Faruk sempat membatalkan niatnya untuk masuk Suriah. Dia memerintahkan pasukannya untuk segera meninggalkan negara bagian itu karena takut mereka akan terkena wabah yang sedang menyebar di negara bagian itu.
Salah satu sahabat mengkritik tindakannya, dengan mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kamu lari dari takdir Allah? Dia menjawab, "Ya, kami melarikan diri dari takdir Tuhan yang ingin pergi ke takdir Tuhan lain."
Nabi Muhammad SAW pernah ditanya pertanyaan serupa ketika mencoba menyembuhkan suatu penyakit, “Wahai Nabi Muhammad SAW apakah engkau mencoba menolak takdir Allah?” Nabi SAW menjawab, “Oleh karena itu, upaya penyembuhan penyakit juga merupakan takdir Allah!” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)
Jika kemiskinan diibaratkan sebagai penyakit maka ketahuilah bahwa Allah telah menurunkan suatu cara atau sistem yang dapat menyembuhkannya. Jika kita menganggap kemiskinan itu sebagai takdir Tuhan, maka kita harus memahami bahwa upaya memberantas kemiskinan dan membebaskan umat manusia dari cengkeramannya juga merupakan takdir dan kehendak Tuhan.
Qana'ah atau merasa puas dengan pemberian Tuhan tidak ada hubungannya dengan takdir Tuhan, sebaliknya qana'ah harus menghindari sifat keserakahan dan haloba.
Kebiasaan alami manusia membuatnya sangat serakah dan serakah terhadap dunia. Ia tidak akan puas atau puas dengan apapun yang didapatnya. Sebuah hadis menjelaskan keserakahan dan keserakahan manusia sebagai berikut: “Jika seorang putra Adam memiliki emas penuh bahkan dua lembah maka dia akan (berusaha) menemukan lembah ketiga. Mata anak-anak Adam tidak akan terisi kecuali dengan tanah.” (HR Bukhari)
Fungsi iman adalah untuk mengendalikan dan membatasi keserakahan, keserakahan dan keserakahan yang mendominasi manusia. Itulah sebabnya jika seorang manusia sudah dikuasai oleh sifat serakah maka ia akan hidup dalam kecemasan yang terus-menerus.
Ia tidak akan merasa cukup dengan hasil yang sedikit dan juga tidak akan merasa kenyang dengan penghasilan yang banyak. Api keserakahan dan keserakahan yang selalu berkobar dalam dirinya akan mengalihkan pandangannya ke milik orang lain.
Fungsi iman adalah mengarahkan jiwa seperti itu kepada nilai-nilai spiritual yang abadi. Hanya orang-orang beriman yang mengerti bahwa kekayaan tidak terletak pada banyaknya kekayaan tetapi kekayaan terletak pada hati.
Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Bukan kaya dengan memiliki banyak harta, tetapi kekayaan adalah kekayaan jiwa.” (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad bin Majah)
Makna kedua puas atas karunia Allah (Quna’ah) terkandung dalam kesadaran bahwa berbagai keutamaan dan kelebihan yang diberikan Allah kepada setiap manusia, baik rezeki, bakat maupun keahlian merupakan sunnah Allah di alam semesta.
Firman Allah SWT yang artinya: “Dan Allah melebihkan sebagian kamu atas sebagian yang lain dalam hal rizki.” (Surat an'Nah, ayat 71)
Arti Qana'ah adalah kesediaan manusia untuk menerima nikmat Allah yang tidak dapat diubah. Kemampuan seseorang ditentukan berdasarkan potensi jasmani, rohani, dan kecerdasannya. Selain itu, faktor lingkungan dan keahlian juga menjadi landasan keberhasilannya.
Oleh karena itu, segala aktivitas dan usaha yang dilakukannya harus sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Seseorang seharusnya tidak membiarkan dirinya hidup dalam fantasi yang tidak mungkin dia capai